Dari sekian banyak orang yang aku kenal, tidak sedikit dari mereka yang mengalami ketidak harmonisan di perkawinannya, dengan alasannya masing-masing, kebanyakan dari mereka tetap mempertahankan keutuhan rumah-tangganya, walau harus menelan kepahitan, bertopeng kebahagiaan, menyamankan tekanan, menerima ketidakadilan dan melupakan tujuan hidup yang ada pada diri mereka. Mereka menjalankannya seakan-akan “inilah nasipku,” “inilah resiko yang harus aku dijalanin atas langkah yang pernah aku ambil.” Sebegitu pasrahkah kita dalam menghadapi hidup ini?
Ada begitu banyak alasan yang pernah aku dengar, namun yang paling umum dilontarkan adalah:
- Demi anak-anak.
- Demi orang tua atau untuk menjaga nama baik orang tua.
- Kasihan pada pasangannya.
- Karena ajaran agama yang dianutnya.
Demi anak-anak
Alasan yang sangat bisa diterima dan pantas untuk dilakukan, tapi benarkah, apa yang dilakukan itu memang terbaik untuk anak-anak kita.
Satu sisi mereka akan bahagia karena keutuhan orangtua-nya, tapi disisi lain cepat atau lambat mereka akan bisa melihat dan merasakan ketidak harmonisan itu; dan semakin besar, mereka akan semakin mengerti dan mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Terlebih jika pada akhirnya, hadir orang ketiga dan keempat diantara kedua orangtua-nya, keadaan yang tak nyaman akan semakin terasa.
Pernahkan terfikir oleh kita: Bagaimana dengan sikis mereka? Pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada anak-anak kita? Pertumbuhan seperti apa yang kita ciptakan untuk mereka?
Demi orang tua atau untuk menjaga nama baik orang tua.
Setiap orang tua, kebanyakan, selalu menginginkan yang terbagi bagi anak-anaknya. Keutuhan rumah tangga anaknya adalah pengharapannya, demikian juga kebahagiaan anaknya; mungkin perceraian bukanlah suatu hal yang diinginkan atau diredhoi jika itu terjadi pada anak mereka; tapi bukan berarti mereka tidak bisa mengiklaskannya.
Kita yang menjalankan kehidupan kita, kita yang merasakan apa yang terjadi dan kita yang tau apa yang sebenarnya ingin kita lakukan. Sekecewa, semarah, sesesal dan sesedih apapun orangtua kita, jika mereka mengetahui dan bisa memahami apa yang kita rasakan, pengertian dan keiklasan itu akan ada.
Nama baik memang masih menjadi bagian penting di masyarakat, tapi kebahagiaan anaknya, seharusnya, jauh lebih penting. Apalah artinya sebuah nama baik jika hanya sebagai hiasan, sementara bagian yang ada didalamnya tidak merasakan kebaikan itu dan tidak memiliki kebahagiaan?
Kasihan pada pasangannya.
Apa yang membuat pasangan kita patut untuk dikasihani? Pernahkan terpikir “mungkin” dengan karena ingin menjaga keutuhan rumah tangganya, justru ia lebih pantas untuk dikasihani?
Mengasihani pasangan tanpa alasan yang jelas dan masuk akal sama saja dengan tidak mengasihinya; merampas hak kebahagiaan hidupnya, yang tidak bisa kita berikan, yang mungkin bisa ia dapatkan dari orang lain; dan memenjarakan dirinya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang seharusnya bisa ia dapatkan atau lakukan.
Rasa kasihan pada pasangan kita kadang adalah cerminan atas diri kita, yang mengasihani diri sendiri karena tidak bisa melepaskannya atau tidak memiliki keberanian untuk mengambil langkah.
Karena ajaraan agama yang dianutnya.
Ada tertulis ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Markus 10 - 10:9 & Matius 19 - 19:6).
Pertanyaannya adalah: Apakah kita yakin bahwa pasangan kita adalah pilihan Allah untuk kita? Apakah perkawinan kita adalah yang dipersatukan Allah? Atau... pilihan kita yang diberkati oleh gereja?
Sebelum kita mengucapkan janji perkawinan, pernahkah kita berdoa dan sungguh-sungguh bertanya pada Allah tentang pasangan kita; peka-kah kita terhadap tanda-tanda yang Allah berikan pada kita; atau hanya kebulatan hati kita untuk bisa bersama-sama dengan orang yang kita cintai; atau hanya melanjutkan jalan yang telah kita ambil karena telah terlanjur dan tidak ingin membuat malu diri sendiri maupun keluarga.
Pada dasarnya semua ajaran agama yang baik tidak mengizinkan perceraian; yang membedakan satu dengan lainnya adalah pemahaman dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama bertahun-tahun silam.
Aku sering mendengar ucapan: “kalo di Kristen boleh cerai, tapi di Katolik tidak,” namun pengertian itu tidak benar, baik di Kristen maupun di Katolik perceraian bukanlah suatu hal yang disukai Allah, dan gereja Kristen tidak pernah mengeluarkan surat cerai.
Menjaga Keutuhan Rumah Tangga
Perceraian memang tidak pantas untuk dijadikan pilihan pertama, dalam menyingkapi ketidak harmonisan didalam perkawinan, dan alangkah baiknya jika itu tidak terjadi; menjaga keutuhan rumah tangga adalah pilihan yang benar.
Namun lakukanlah itu untuk diri kita, karena kita menginginkannya, bukan demi anak-anak, orang tua atau pasangan kita, tapi demi diri kita sendiri. Jika kita ingin berkorban untuk orang-orang yang kita cintai, lakukanlah dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah karena yang akan kita dapatkan hanyalah kelelahan. Janganlah menyia-nyiakan pengorbanan kita, kita juga harus bisa menikmati hasil pengorban kita.
Mulailah dari diri kita sendiri, merubah cara pandang dan berfikir kita, sikap dan karakter kita. Cobalah untuk mengingat kembali apa yang membuat kita memilih pasangan kita, apa tujuan dan mimpi yang pernah ada di benak kita. Seandainya pasangan kita bukan pilihan kita sekalipun, kita masih bisa melihat apa yang membuat kita memutuskan untuk menerimanya. Carilah bantuan jika itu memang diperlukan.
Benahilah apa yang kita bisa benahi dan yang terpenting adalah berkomunikasi. Kadang kita merasa telah mengenal pasangan kita sehingga pikiran dan perkiraan kita yang mengambil alih, kita lupa bahwa manusia dapat berubah dan kita bukankanlah Tuhan yang bisa membaca pikiran orang; oleh karena itu, komunikasi adalah kunci utama dalam suatu hubungan.
Dengan komunikasi itu pula kita dapat mengetahui apa yang sebenarnya kita berdua inginkan, apa yang seharusnya kita lakukan, dan langkah apa yang bisa kita ambil. Jika memang keutuhan yang diinginkan, kita bisa melakukannya dengan benar; jika sebaliknya, kita juga tidak akan membuang-buang waktu kita untuk sebuah pengorbanan yang tak berujung.
Jika Perceraian Harus Terjadi
Perceraian memang menyakitkan, membawa kepedihan dan memberi luka; namun perceraian bukanlah aib, kegagalan maupun dosa.
Perkawinan adalah gabungan antara dua manusia yang awalnya mungkin mempunyai tujuan dan mimpi yang sama, atau yang merasa dapat menjalankan walau dengan perbedaan yang ada dan pemahaman yang tak sama; dan untuk keberhasilan perkawinan itu diperlukan keinginan, tekat dan usaha dari keduanya, tidak dapat hanya dilakukan sendiri. Bukanlah suatu aib jika keutuhan itu memang tidak dapat lagi dipertahankan.
Sering kita mendengar ucapan “seandainya aku bisa memutar balikkan waktu, aku akan....” tapi kenyataannya adalah kita memang tidak bisa memutar balikan waktu dan kita tidak bisa hidup dengan “seandainya.” Namun yang bisa kita lakukan adalah mengganti arah jalan kita.
Jika perceraian itu harus terjadi, kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki arah jalan kehidupan kita. Kita harus percaya bahwa Allah sanggup membalikkan suatu yang buruk menjadi yang baik. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita pasti ada hikmahnya, mungkin kita tidak dapat melihatnya saat itu, tapi pada saatnya kita akan tau dan mengerti kenapa itu harus terjadi dalam kehidupan kita. Kita tidak pernah tau apa yang Allah akan berikan kepada kita, kita hanya harus percaya bahwa itulah yang terbaik untuk kita. Suatu hal yang awalnya terlihat seperti sebuah kegagalan dapat menjadi awal suatu keberhasilan.
Memang perceraian adalah hal yang tidak disukai Allah bahkan dibenci oleh Allah; tapi Allah kita adalah maha pengerti, maha pengampun dan maha adil. DIA tidak akan menghukum kita untuk hal-hal yang diluar kendali kita. DIA menciptakan kita karena kasihNYA dan DIA mempunyai tujuan dalam kehidupan kita; walaupun dalam perjalanannya, kita mungkin mengambil keputusan dan melakukan hal yang salah, bukan berarti DIA akan membenci kita; justru sebaliknya DIA akan tetap berusahaan agar kita menjadi seperti yang diinginkannya saat DIA menciptakan kita.
Tidak ada manusia atau hukum-hukum dunia bahkan peraturan-peraturan agama/gereja yang dapat memutuskan hubungan kita denganNYA. Manusia, agama/gereja boleh mengatakan kita berdosa dan mentidakbolehkan kita melakukan hal-hal tertentu dalam ritual keagamaan; tapi hanya DIA yang berhak mengatakan kita berdosa atau tidak.
Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu didalam hidup kita ada ditangan kita; janganlah kita menyalahkan atau menyerah pada nasip kita, kita punya kuasa untuk merubahnya, dan kebahagian hidup adalah sebuah pilihan. Keberhasilan dari pilihan kita baik untuk keutuhan rumah tangga kita atau perceraian ada ditanggan kita.
Pertanyaannya adalah.... Apa yang kita mau dalam hidup kita?
Jumat 27/02/09